Tugas ISD ke III - Film Bertema Masalah Sosial Masyarakat
A. Identitas Film | |||||||||||||
| |||||||||||||
B. Sinopsis | |||||||||||||
Setelah hampir tiga tahun bekerja di sebuah lembaga konservasi di wilayah Jambi, Butet Manurung (Prisia Nasution) menemukan hidup yang diinginkannya: mengajarkan baca-tulis dan berhitung kepada anak-anak masyarakat Suku Anak Dalam, yang dikenal sebagai Orang Rimba, yang tinggal di hulu sungai Makekal di hutan bukit Duabelas. Jadilah ia mengajar baca-tulis dan berhitung untuk masyarakat Suku Kubu, dikenal juga sebagai Orang Rimba, yang bermukim di hulu dan hilir Sungai Makekal, Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Hasrat mengajarnya makin menggebu tatkala ada seorang anak yang berasal dari wilayah hilir datang menemuinya untuk ikut belajar. Bungo (Nyungsang Bungo) nama anak itu. Ia menempuh jarak yang sangat jauh demi menemui sang guru sambil membawa segulung kertas perjanjian yang telah dicap jempol oleh kepala adat, sebuah perjanjian yang memperkenankan penebangan pohon dilakukan di tanah adatnya. Bungo ingin bisa membaca isi perjanjian tersebut. Bungo juga pernah menyelamatkan hidup Butet. Suatu hari Butet terserang demam malaria di tengah hutan. Dia dating dari Hilir sungai Makekal, sekitar 7 jam perjalanan dari tempat Butet mengajar. Diam-diam Bungo telah lama memperhatikan ibu guru Butet mengajar membaca. Pertemuan dengan Bungo menyadarkan Butet untuk memperluas wilayah kerjanya ke arah hilir sungai Makekal. Keinginannya itu tidak mendapatkan restu baik dari tempatnya bekerja, maupun dari kelompok rombongan Bungo yang masih percaya bahwa belajar baca tulis bisa membawa malapetaka bagi mereka. Di kalangan Orang Rimba sendiri, Butet sempat diusir karena dianggap menyebarkan kutukan lewat ilmu pengetahuan—tak lama setelah Butet mengajar di kawasan hilir Sungai Makekal, pemimpin kelompok setempat tutup usia. Kecerdasan dan keteguhan hati Bungo membuat Butet mencari segala cara agar bisa tetap mengajar Bungo. Sampai saat malapetaka yang ditakuti oleh Kelompok Bungo betul-betul terjadi. Butet terpisahkan dari masyarakat Rimba yang dicintainya. Namun Butet tidak dapat memberikan banyak perubahan yang drastis dalam kehidupan Orang Rimba—tak ada kepastian apabila suku pedalaman ini bisa lepas dari tirani kepentingan pengurus taman nasional dan pemilik perkebunan kelapa sawit. Tak juga kita melihat Butet mendapat timbal balik yang setimpal untuk upayanya bersusah-susah memperjuangkan pendidikan dan hak Orang Rimba. Di satu sisi, lahan bermukim dan kesempatan berburu hewan bertautan dengan kepentingan pengurus taman nasional, yang juga berkaitan dengan politik tempat kerja Butet, yang lebih mementingkan publisitas (supaya punya reputasi baik di mata pemodal) ketimbang menyokong keinginan Butet untuk memperluas wilayah ajar. Di sisi lain, hukum adat dan kebersamaan dalam kelompok Orang Rimba berlawanan dengan pendidikan yang Butet tawarkan. Sejumlah tetua Orang Rimba yang Butet temui curiga kalau pendidikan yang ditawarkan akan mendorong generasi penerus untuk pergi meninggalkan mereka, walau anak-anak dan remaja dari kelompok yang sama menerima keberadaan Butet. Adapun, seiring berjalannya cerita, muncul fakta bahwa para penebang hutan dan pemilik taman nasional mengeksploitasi para Orang Rimba. Kelompok-kelompok Orang Rimba ini diminta menandatangani kontrak yang sesungguhnya merugikan mereka, tapi mereka tidak sadar kalau mereka sedang dirugikan karena tidak tahu apa sebenarnya yang tertera dalam kontrak itu. Berdasarkan silang sengkarut kebutuhan dan kepentingan inilah cerita Sokola Rimba berjalan. Tak heran kalau kemudian Butet Manurung terasa menjadi sosok yang begitu kecil dalam film. Setiap langkah yang ia ambil bergantung pada kepentingan dua kalangan, baik tempat kerjanya maupun para Orang Rimba. Beberapa kali ia mau tidak mau ikut aturan, beberapa kali ia terpaksa bersiasat—dan ia tidak selamanya berhasil. Banyak penghargaan yang telah diraih oleh film ini diantaranya : Unggulan di Festival Film Bandung, Indonesia dengan kategori (film terpuji, pemeran utama wanita terpuji, sutradara terpuji, penulis skenario terpuji, dan penata musik terpuji) Sumber : http://hot.detik.com/movie/read/2013/11/26/152048/2423989/229/sokola-rimba-mengamati-anak-rimba-bersama-butet | |||||||||||||
C. Pendapat Pribadi | |||||||||||||
Dalam film ini saya melihat penggambaran pendidikan yang tidak biasa. Penggambaran semacam ini sangat jarang kita temui dalam film atau sinetron di Indonesia. Semenjak Laskar Pelangi pada 2008, film-film bioskop kita giat menyiarkan mengenai hal luar biasa yang menanti seseorang di ujung jenjang pendidikan, baik itu kekayaan maupun kesempatan untuk ke luar negeri. Kesan pertama yang muncul setelah melihat film ini yaitu banyak film kita yang terlalu monoton. Satu film sukses, dengan ide brilliant-nya kemudian di difotokopi terus-menerus untuk film-film yang lainnya sampai buram jadinya. Kebanyakan film kita berkisah tentang cerita anak miskin yang berjuang untuk sekolah kemudian pada akhirnya dia kaya. Namun berbeda dengan film ini, film ini menggambarkan kondisi sesungguhnya dari suku pedalaman yang sampai saat ini tidak bisa membaca dengan hidup yang tidak menentu. Dalam film ini juga diuraikan mengenai hal-hal apa saja yang mengisi kerutinan Orang Rimba, lahan bermukim, kesempatan berburu hewan, hukum adat, kebersamaan dalam kelompok, dan mengaitkan semuanya dengan hal-hal yang mengisi kerja Butet Manurung sebagai pengajar di daerah mereka. Film Sokola Rimba menjadi pelajaran yang realistis tentang suatu gerakan sosial. Apa yang Butet ingin capai itu mulia yaitu berbagi ketrampilan untuk menghadapi kehidupan yang berubah. Namun, sebagaimana yang atasannya tekankan, semua itu butuh modal dan modal tidak berserakan begitu saja di halaman belakang rumah. Film Sokola Rimba menjadi kritik halus terhadap pemerintah yang titip absen dalam mencerdaskan warganya. Perhatikan dalam film, di luar rekan-rekan Butet sesama pengajar, siapa yang benar-benar peduli dan mau membantu program pendidikannya secara konkret? Yaitu orang asing bukan orang Indonesia. Keberhasilan dari Butet yang menjadi pelajaran kita dalam film Sokola Rimba adalah beberapa anak yang bisa membaca. Tidak lebih dan tidak kurang. Menariknya, karena itulah membuat film ini menjadi realistis dan tidak muluk-muluk, Sokola Rimba menjadi begitu mencuat. Dalam film ini, pendidikan tidak hadir sebagai batu loncatan atau solusi instan menuju kemakmuran. Ia hadir sebagai alat yang Orang Rimba bisa pakai pada hari-hari mendatang untuk kebutuhan mereka. Hasil akhir itu masalah nanti. Yang penting prosesnya dulu. Yang terpenting dari film ini adalah kita harus lebih bisa memperhatikan saudara-saudara kita yang tertinggal, yang dibawah, bahkan yang tidak mengenal pendidikan sama sekali. Karena jika bukan kita, siapa lagi yang akan merawat dan menolong mereka. Pendidikan memang penting bagi kehidupan manusia, namun kebanyakan film sekarang ini telah mengubah cara berfikir masyarakat bahwa pendidikan itu “Lulus sekolah dan menumpuk kekayaan atau ke luar negeri”. Sehingga banyak orang yang menghiraukan kehidupan orang di pedalaman di negeri sendiri, mereka lebih sibuk untuk mengurus perusahaan asing atau memperkaya diri. Dan yang harus kita tahu adalah bahwa kebutuhan semua orang itu sama, yakni kekayaan melimpah atau melanglang buana? Bagaimana dengan kalangan warga yang tak mengenal konsep “kaya” atau “pelesir” dalam kehidupan mereka? Masalah sosial berupa pendidikan di Indonesia harus segera diatasi terutama di daerah tertinggal dan perbatasan. Jika hal ini dilakukan maka pendidikan di Indonesia akan semakin maju. |
0 komentar:
Posting Komentar