Senin, 11 Mei 2015

Tugas IBD II Masuknya wali songo dalam mempengaruhi budaya di Indonesia


MASUKNYA WALI SONGO DALAM MEMPENGARUHI BUDAYA DI INDONESIA

Salah satu budaya akhibat masuknya islam di Kraton Yogyakarta

1. Pengertian Wali Songo
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Wali Songo adalah perintis dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim (Syis, 1984; Sunyoto, 1991; Drewes, 2002). Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15.
Wali sanga

Wali Songo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian (Nasution, 1992; Saksono, 1995. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelidung-pelindung (auliya) mereka ialah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257)

2. Pengertian Alkulturasi Budaya
Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya (Harsoyo).

3. Budaya Indonesia sebelum Wali Songo
Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu daripada Islam.
Seperti halnya kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir tekena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa.


Budaya hindu di Jawa

Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup (konservatif) dari budaya luar. Sehingga mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari luar. Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.


Budaya kejawen

Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara, termasuk Nusantara.

4. Budaya Indonesia setelah Wali Songo
Akibat dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang melakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka menjadi penerima Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih mudah. Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi masyarakat. Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim yang sudah mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan. Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan arab atau India. Misalnya di Surakarta terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung Arab).
Setelah masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran islam mulai berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran islam sudah dikerjakan masyarakat Nusantara. Di kota-kota besar dan kecil yang sudah islam, terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk berjamaah. Hal itu merupakan bukti budaya yang telah berkembang di nusantara.
Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.

Tiga daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah. Budaya Islam Nusantara memiliki warna pelangi.
Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur.
Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat.
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain.
Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.
Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.
Faktor fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya. Begitu juga letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.


Salah satu peninggalan masjid di Yogyakarta

Budaya-budaya lokal yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam didalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.

Alkulturasi budaya Lokal dan Islam di Indonesia

Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.

5. Contoh-contoh hasil alkulturasi budaya setelah masuknya Islam di Indonesia
  1. Tepung tawar, biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung tawari. 
  2. Sungkeman. Kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu. 
  3. Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M). 
  4. Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama. 
  5. Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi. 
  6. Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari. 
  7. Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan. 
  8. Sunatan yaitu acara khinatan.
  9. Budaya Tumpeng. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah sebabnya disebut “nasi tumpeng”. Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai “tumpengan”.

Daftar Isi


  • Daliman, A, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia,Jakarta: Ombak, 2012. 
  • Huda, Nur Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. 
  • Notosusanto, Nugroho, Sejarah nasional Indonesia jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1992. 
  • Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Islam Religi dan Falsafah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. 
  • Sunanto, Musyrifah Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 
  • Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XII sampai XVIII M, Jakarta : Cinta Ilmu, 2000. 
  • http://andinurdiansah.blogspot.com/2013/03/21/pertemuan-islam-dan-budaya-nusantara.html. 
  • https://togapardede.wordpress.com/2013/09/18/wujud-akulturasi-kebudayaan-islam-dan-kebudayaan-indonesia-1/

0 komentar:

Posting Komentar

About Us